Jumat, 06 September 2013

makalah antropologi : KEBUDAYAAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Dan secara etimologi, kata kebudayaan berasal dari kata budaya berasal dari kata sangsakerta buddayah yang merupakan bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi dan akal,dengan kata lain kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Budaya terbagi atas ranah sosial dan individual. Pada ranah sosial dikarenakan budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih baik sekedar pertemuan-pertemuan incidental. Sedangkan dalam ranah individual karna budaya diawali ketika individu-individu bertemu masing dan saling memberi pengaruh.  Individu membawa budayanya pada setiap tempat dan situasi di kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu lain yang saling berinteraksi dan selanjutnya dibawa pulang pada budaya aslinya, dan mengembangkan budaya tersebut.
Sejalan dengan derasnya arus modernisasi dan globalisasi, budaya-budaya daerah kian memudar dan terpinggirkan oleh budaya-budaya yang masuk dalam tubuh budaya kita yang dominan berasal dari budaya barat . sehingga dari akibat tersebut dapat menimbulkan berbagai macam masalah diindonesia, antara lain adanya perbedaan karakter kepribadian budaya barat dengan budaya indonesia yang dapat merusak budaya indonesia yang juga dapat mengakibatkan pembentukan kepribadian yang kurang baik akibat pergeseran nilai-nilai kebudayaan yang ada.




1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1.      Bagaimana defenisi kebudayaan menurut ilmu antropologi?
2.      Bagaimana wujud kebudayaan?
3.      Bagaimana adat istiadat?
4.      Apa yang menjadi unsur-unsur kebudayaan?
5.      Bagaimana integritas kebudayaan?





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Defenisi Kebudayaan Menurut Ilmu Antropologi
Cara hidup manusia dengan berbagai macam sistem tindakan tadi dijadikan sebagai objek penelitian dan analisis oleh ilmu antropologisehingga aspek belajar merupakan aspek pokok. Itulah sebabnya dalam hal memberi pembatasan terhadap konsep “kebudayaan” atau culture, ilmu antropologi berbeda dengan ilmu lain. Kalau dalam bahasa sehari-hari “kebudayaan” hanya dibatasihanya pada hal-hal yang indah(seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusasteraan, dan filsafat) saja. Sedangkan ilmu antropologi jauh lebih luas sifat daan ruan lingkupnya. Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tundakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar,yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti makan, minum, atau belajar dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan berkebudayaan. Manusia makan pada waktu-waktu tertentu yang dianggapnya wajar dan pantas, ia makan dan minum dengan alat-alat, cara-cara dan sopan santun dan protokol yang sering kali sangat rumit, harus dipelajarinya dahulu dengan susah payah. Manusia berjalan tidak hanya menurut wujud biologisnya yang telah ditentukan oleh alam, tetapi merombak cara berjalannya dengan gaya seperti prajurit, berjalan dengan lemaah lembut, berjalan seperti peragawati dan sebagainya, yang semuanya dipelajari dahulu.
Defenisi yang menganggap bahwa “kebudayaan” dan “tindakan” itu adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior), juga diajukan oleh beberapaoleh ahli antropologi terkenal seperti C. Wissler, C. Kluckhohn, A. Davis, atau A. Hoebel. Defenisi yang mereka ajukan hanya beberapa saja diantara banyak defenisi lain yang pernah diajukan, tidak hanya  para sarjana antropologi, tetapi juga oleh para sarjana ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, filsafat, sejarah, dan kesusasteraan. Dua orang sarjana antropologi, A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn, pernah mengumpulkan sebanyak mungkin defenisi tentang kebudayaan yang pernah dinyatakan orang dalam tulisan, dan ternyata bahwa ada paling sedikit 160 buah defenisi. 160 buah defenisi itu kemudian mereka analisis, dicari latar belakang, prinsip, dan intinya, kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe defenisi. Hasil penelitian mengenai defenisi kebudayaan tadi diterbitkan menjadi buku berjudul: Culture, A Citical Review of Consept Definitions (1952).
2.1.1 Kebudayaan (Culture) dan Peradabaan
Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddhayah,yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan “ hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada sarjana lain yang menghapus kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti “daya dan budi”. Karena itu mereka  membedakan “budaya” dan “kebudayaan”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dan budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa itu. Dalam istilah “antropologi-budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” disini hanyalah dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang sama.
Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan”. Berasal dari kata latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “ segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”.
Disamping istilah “kebudayaan” ada pula istilah “peradaban”. Hal yang terakhir adalah sama dengan istilah Inggris civilization. Istilah tersebut biasa dipakai untuk menyebut bagian dan unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah, misalnya: kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun dan pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan dan sebagainya. Istilah “peradaban” sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai suatu sistem kenegaraan dari masyarakat kota yang maju dan kompleks.

2.1.2  Sifat Superorganik dari Kebudayaan
Manusia berevolusi dalam jangka waktu lebih-kurang empat juta tahun lamanya. Pada saat ia muncul di muka bumi, tentu telah ada benih-benih dari kebudayaan. Telah ada bahasa sebagai alat komunikasi untuk perkembangan sistem pembagian kerja dan interaksi antara warga kelompok. Tentu saja ada kemampuan akal manusia untuk mengembangkan konsep-konsep yang makin lama makin tajam, yang dapat disimpan dalam bahasa, dan bersifat akumulatif. Mungkin ketika itu juga sudah ada alat-alatnya yang pertama, berupa sebatang kayu untuk tongkat pukul, segumpal batu untuk senjata lempar. Kemudian batang-batang kayu diperuncing olehnya sehingga selain senjata pukul, juga dapat berfungsi sebagai senjata tusuk, dan gumpal-gumpal batu yang dipertajam pada sisi belahannya dapat juga berfungsi sebagai alat potong.
Dengan benih-benih kebudayaan berupa kemampuan akal dan beberapa peralatan sederhana itu, manusia dapat hidup selama 2 juta tahun. Kebudayaan berevolusi dengan lambat, sejajar dengan evolusi organismenya, dan baru 200.000 tahun kemudian tampak sedikit kemajuan ketika penemuan alat-alat sekitar fosil-fosil homo neandertal terlihat, bahwa kebudayaan manuisa telah bertambah dengan kemampuan untuk menguasai api dan mempergunakan energinya, serta kepandain untuk membuat gambar-gambar pada dinding gua, yang berarti bahwa manusia mulai mengembangkan kesenian. Berhubungan dengan itu, mungkin juga mengenai konsep-konsep dasar mengenai religi.
Namun setelah zaman itu, tampak bahwa evolusi kebudayaan manusia menjadi agak cepat jika dibandingkan dengan evolusi organiknya. Kalau 12.000 tahun kemudian bentuk organisme manusia berubah dari bentuk homo neandertal menjadi bentuk  homo sapiens seperti manusia sekarang, maka kebudayaan juga tampak banyak kemajuan. Variasi bentuk alat-alat batunya bertambah banyak dan mantap. Manusia telah memakai alat-alat batu seperti bilah yang kecil, yang dipasang pada alat-alat kayu atau bambu yang telah ada, sehingga kemampuan teknologinya menjadi lebih rumit.
Kemudian hanya 50.000 tahun setelah itu, ketika dalam proses evolusi organik tampak perbedaan beragam ras, maka dalam proses evolusi kebudayaan telah tampak alat-alat teknologi rumit seperti busur panah. Adapun suatu perkembangan yang meloncat cepat adalah ketika dalam waktu hanya 20.000 tahun saja,berkembang kepandaian untuk bercocok tanam.
Dengan peristiwa berkembangnya kepandaian bercocok tanam itu,manusia mengalami suatu waktu revolusi atau perubahan yang mendadak dalam kebudayaan dan cara hidupnya, Ia tidak lagi berpindah-pindah daari suatu perkemahan keperkemahan yang lain untuk mencari tempat kawanan buruannya.Ia telah mulai membentuk desa-desa, konsenstrasi tempat-tempat tinggal menetap,  dan mengembangkan masyarakat dengan organisasi sosial yang mempunyai dasar dan susunan yang sangat berbeda daripada organisasi sosial dari masyarakat ketika ia hidup dalam kelompok-kelompok berburu yang kecil. Ia mulai dapat membuat alat-alat yang lebih banyak tanpa menghadapi masalah pengangkutan benda-benda itu bila ia harus berpindah-pindah memburu binatang. Dengan demikian, kepandaian membuat periuk belanga yang terbuat dari tanah liat mulai berkembang, juga kepandaian membuat rumah-rumah atap,memenun dan sebagainya.
Setelah revolusi bercocok tanam dan kehidupan mantap,juga menyebabkan meloncatnya pertumbuhan jumlah manusia, dalam jangka separohnya dari jangka waktu proses perkembangan bercocok tanam, yaitu 6.000 tahun kemudian,telah timbul suatu revolusi atau perubahan mendadak yang baru lagi dalam proses perkembangan kebudayaan,yaitu revolusi perkembangan masyarakat kota. Peristiwa itu pertama-tama di Pulau Kreta, kira-kira pada tahun 4.000 S.M.,di daerah subur di perairan sungai-suingai Tigris dan Eufrat ( daerah sekarang menjadi negara Siria dan Irak), di daerah muara Sungai Nil (daerah yang sekarang menjadi Mesir sekitar kota Kiro).
Proses perubahan kebudayaan kemudian betambah cepat lagi,dan banyak unsur baru dengan suatu ragam yang besar di berbagai tempat di dunia, berkembang dalam jangka waktu hanya 5.500 tahun setelah itu. Hingga kira-kira sekitar tahun 1.500 M.,beberapa tokoh bangsa-bangsa di Eropa Barat mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan baru. Hanya dalam waktu 200 tahun saja,yaitu pada paroh kedua abad ke-18 sampai abad ke-20 ini, kebudayaan manusia mengalami suatu revolusi ketiga, yaitu Revolusi Industri. Dalam proses perubahan mendadak itu perubahan manusia, terutama mengenai unsur-unsur teknologi dan peralatan fisiknya, dan juga mengenai organisasi sosial dan kehidupan rohaninya suda menjadi sedemikian kompleksnya sehingga manusia sendiri hampir tidak dapat lagi mengendalikan dan menguasainya. Kecepatan perkembangan kebudayaannya itu suda menjadi beberapa ratus kali lipat.
Apabila proses evolusi dan perkembangan kebudayaan manusia itu kita bandingkan dengan evolusi organismenya, dengan cara menggambar dua garis grafik yang sejajaar,artinya sama cepaatnya. Tetapi kemudian garis evolusi kebudayaan itu tadi,pada tempat yang menandakan waktu kira-kira 80.000 tahun lalu dipakai,waktu terjadinya homo sapiens, mulai melepaskan diri dari garis evolusi organisme manusia. Dengan melalui dua peristiwa revolusi kebudayaan, yaitu revolusi pertanian dan revolusi perkotaan, proses perkembangan tampak membumbung tinggi dengan suatu kecepatan yang seolah-olah tidak dapat dikendalikan sendiri, dalam waktu hanya 200 tahun saja, melalui peristiwa yang disebut revolusi industri. Proses perkembangan kebudayaan yang seolah-olah melepaskan diri dari evolusi organik, dan terbang sendiri membumbung tinggi ini,merupakan proses yang oleh ahli antropologi A.L. Kroeber disebut proses perkembangan superorganic dari kebudayaan.


2.2  Tiga Wujud Kebudayaan
Talcott Parsons bersama dengan ahli antropologi A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide dan konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktifitas manusia yang berpola. Serupa dengan J.J. Honigmann yang dalam buku pelajaran antropologinya, berjudul The World of Man (1959: hlm. 11-12)  membedakan adanya tiga gejala kebudayaan yaitu:
1.      Ideas
2.      Activities
3.      Artivacts
Pengarang berpendirian bahwa kebudayaan itu ada tiga wujud:
1.      Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya.
2.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3.      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada dalam kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat menyatakan gagasan mereka tadi dalam tulisan maka lokasi dalam kebudayaan ideal sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat bersangkutan. Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disket, arsip, koleksi mikrofilm dan mikrofish, kartu komputer, silinder dan pita komputer.
Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan itu satu dengan yang lain selalu berkaitan menjadi satu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya atau cultural sistem. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya.
Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social sistem, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkrit, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda kompleks dan canggih, seperti komputer yang berkapasitas tinggi; atau benda-benda yang bergerak seperti kapal atau perawat; ada bangunan hasil seni arsitek seperti candi yang indah; atau ada pula benda-benda yang kecil seperti kain batik, atau yang lebih kecil lagi kancing baju.
Ketiga wujud dari kebudayaan terurai tadi, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia, menhasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya.






2.3  Adat-Istiadat
2.3.1  Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan yang paling abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai suatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga. Masyarakat tadi.
Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat,tapi sebagai konsep,suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas,dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun,justru karena sifatnya yang umum,luas dan tidak kongkret itu,maka nilai-nilai dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa individu yang menjadi warga kebudayaan yang bersangkutan. Selain itu, para individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu singkat, dengan cara mendiskusikannya secara rasional.
Dalam tiap masyarakat, baik yang komleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya satu dengan yang lain yang berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Sistem itu sebagai pedoman dari konse-konsep ideal dalam kebudayaan yang memberi motivasi kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.
Menurut seorang ahli antropologi terkenal, C. Kluckhohn tiap sistem nilai budaya dalam tiap kebudayaan mengandung lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Atas dasar konsepsi itu, bersama dengan isterinya, F. Kluckhohn, ia mengembangkan suatu kerangka yang dapat dipakai oleh para ahli antropologi untuk menganalisis secara universal tiap variasi dalam sistem nilai budaya semua macam kebudayaan yang terdapat di dunia. Menurut C. Kluckhohn, kelima masalah daasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah:
1.      Masalah hakikat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH).
2.      Masalah hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK).
3.      Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disingkat MW).
4.      Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya selanjutnya disingkat MA).
5.      Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat MM).
Cara berbagai kebudayaan di duniamengonsepsikan kelima masalah universal tersebut berbeda-beda walaupun kemungkinan untuk bervariasi itu terbatas adanya. Misalnya mengenai masalah pertama (MH), ada kebudayaan yang memandang hidup manusia pada hakikatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan, karena itu harus dihindari. Kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh oleh agama Budha misalnya dapat mengonsepsikan hidup itu sebagai suatu hal yang buruk. Pola tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju ke arah tujuan untuk dapat memedamkan hidup itu (nirvana = meniup habis), dan meremehkan segala tingkatan yang hanya mengekalkan rangkaian kelahiran kemballi (samsara). Adapun kebudayaan-kebudayaan lain memandang hidup manusia itu pada hakikatnya buruk, tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikan suatu hal yang baik dan mengembirakan.
Mengenai masalah kedua (MK), ada kebudayaan yang memandang bahwa karya manusia pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkan hidup; kebudayaan lain lagi menganggap hakikat dari karya manusia itu untuk memberikannya suatu kedudukan penuh kehormatan dalam masyarakat; sedangkan kebudayaan-kebudayaan lain lagi menganggap hakikat karya manusia itu sebagai suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi.
Kemudian mengenai masalah ketiga (MW), ada kebudayaan yang memandang bahwa penting masa lampau dalam kehidupan manusia. Dalam kebudayaan serupa itu orang akan lebih sering menjadikan pedoman tindakannya contoh-contoh atau kejadian-kejadian dalam masa lampau. Sebaliknya, ada banyak pula kebudayaan di mana orang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit. Warga dari suatu kebudayaan serupa itu tidak akan memusingkan diri dengan memikirkan zaman yang lampau ataupun masa yang akan datang. Mereka hidup menurut keadaan pada masa sekarang ini. Kebudayaan-kebudayaan lain lagi justru mementingkan pandangan yang berorientasi sejauh mungkin terhadap masa yang akan datang. Dalam kebudayaan yang serupa itu perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat penting.
Selanjutnya mengenai masalah keempat (MA), ada kebudayaan yang memandang alam sebagai suatu hal yang begitu dahsyat sehingga manusia pada hakikatnya hanya dapat bersifat menyerah saja tanpa dapat berusaha banyak.Sebaliknya, banyak pula kebudayaan lain yang memandang alam sebagai suatu hal yang dapat dilawan oleh manusia, dan mewajibkaan manusia untuk selalu berusaha menaklukan alam.Kebudayaan lain juga menganggap bahwa manusia hanya dapat berusaha mencari keselarasan dengan alam.
Akhirnya mengenai masalah kelima(MM) ada kebudayaan yang sangat mementingkan hubungan vertikal antara manusia dan sesamanya. Dalam tingkah lakunya manusia yang hidup dalam suatu kebudayaan serupa itu akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin, orang-orang senior, atau atasan. Kebudayaan lain lebih mementingkan hubungan horisontal antara manusia dengan sesamanya. Orang dalam suatu kebudayaan serupa itu akan sangat merasa tergantung kepada sesamanya. Usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangganya dengan sesamanya merupakan suatu hal yang dianggap sangat penting dalam hidup. Selain itu ada banyak kebudayaan k\lain yang tidak membenarkan anggapan bahwa manusia itu tergantung kepada orang lain dalam hidupnya. Kebudayaan serupa itu, sangat mementingkan individualisme, menilai tinggi anggapan bahwamanusia harus berdiri sendiri dalam hidupnya, dan sedapat mungkin mencapai tujuannya dengan bantuan orang lain.
2.3.2  Adat-istiadat, Norma, dan Hukum
Nilai budaya sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi terhadap hidup, bersifat sangat umum. Sebaliknya, norma yang berupa aturan-aturan untuk bertindak bersifat khusus, sedangkan perumusanya bersifat terperinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan. Hal itu seharusnya demikian, sebab kalau terlampau kabur perumusannya, maka norma tersebut tidak dapat mengatur tindakan individu dan membingungkan individu bersangkutan.
Norma-norma yang khusus itu dapat dapat digolongkan menurut pranata yang ada di masyarakat seperti pranata ilmiah, pranata pendidikan, pranata peradilan, pranata ekonomi, pranata kesenian atau estetika, pranata keagamaan, dan sebagainya. Sejajar dengan adanya beragam pranata itu ada juga norma ilmiah, norma pendidikan, norma politik, norma peradilan, norma ekonomi, norma kesenian atau estetika, norma agama, dan sebagainya.
Norma-norma dalam rangka satu pranata dan sub-subpranata erat kaitannya satu sama lain, dan juga merupakan karena merupakan suatu sistem yang terintegrasi. Selain itu norma-norma dalam suatu pranata sudah tentu berkaitan dengan norma-norma dalam pranata-pranata lain yang bedekatan, menjadi sistem-sistem yang lebih luas. Sistem-sistem yang lebih luas itu dapat kita sebut unsur-unsur kebudayaan universal.
 Berdasarkan pengertian yang dicapai suatu usaha perbandinga secara cross-cultural terhadap kasus-kasus hukum yang serupa 32 kebudayaan lain dan berbagai yang tersebar luas di muka bumi (bahan ini tentu tidak dikumpulkan oleh dengan mengunjungi tiap-tiap dari ke-32 daerah itu sendiri, tetapi dari studi di perpustakaan dan dengan menggunakan arsip etnografi yang terkenal dengan nama Human Relation Area Files). Hasil dari analisis komparatif yang amat luas tadi adalah suatu teori tentang batas antara adat dan hukum adat, yang singkatnya berbunyi sebagai berikut :
1.      Hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunya fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dari aktivitas-aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam sesuatu masyarakat, seseorang peneliti harus mencari adanya empat ciri dari hukum, atau Atributes of Law.
2.      Attributes yang terutama disebut attribute of authority. Atribut otoritas atau kekuasaan menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi wewnanh dan kekuasaan dalam masyarakat. Keputusan-keputusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena misalnya ada: (i) serangan-serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan terhadap orang; (iii) serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap keamanan umu.
3.      Attribute yang kedua adalah attribute of intention of universal application. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa serupa dalam masa yang akan datang.
4.      Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dan kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua, tetapi juga dari pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu. Dalam hal ini pihak kesatu dan pihak kedua harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Kalau keputusan tidak mengandung perumusan dari kewajiban maupun dari hak tadi, maka keputusan tidak akan ada akibatnya dan karena itu tidak akan merupakan keputusan hukum; dan kalau pihak kedua itu misalnya nenek moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang menentukan kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua itu bukan keputusan hukum, melainkan hanya suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban kegamaan
5.      Attribute yang keempat dusebut attribute of sanction, dan menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmania berupa hukuman tubuh dab deprivasi dari milik, selain itu juga berupa sanksi rohani seperti menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci dan sebagainya
Demikianlah teori L. popisili mengenai ciri-ciri hukum adat yang memberi pembatasan antara adat dan hukum adat. Teori itu termaktub dalam disertainya yang berjudul The Kapauku Papuans and Their Law (1956).
2.4  Unsur-unsur Kebudayaan
Para sarjana antroplogi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan Minangkabau, kebudayaan Bali, atau kebudayaan Jepang) sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, ketika hendak menganalisis membagi keseluruhan itu kedalam unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal” atau cultural universal. Istilah universal itu menunjukan bahwa unsur-unsur tadi bersifat universal, jadi unsur-unsur tadi ada dan biasa didapatkan didalam semua kebudayaan dari semua bangsa dimanapun di dunia. Mengenai defenisi cultural universal itu, ada beberapa pandangan yang berbeda di antara para sarjana antropologi. Berbagai pandangan yang berbeda itu serta alasan perbedaannya diuraikan oleh C. Kluckhohn dalam sebuah karangan berjudul Universal Categories of Culture (1953). Dengan mengambil satu dari berbagai kerangka tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun oleh beberapa sarjana antropologi itu, maka penulis berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bansa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah:
1.      Bahasa,
2.      Sistem pengetahuan,
3.      Organisasi sosial,
4.      Sistem peralatan hidup dan teknologi,
5.      Sistem mata pencaharian hidup,   
6.      Sistem religi
7.      Kesenian
Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu saja menjelma dalam tiga wujud kebudayaan terurai diatas,yaitu wujudnya beberapa sistem budaya, berupa sistem sosial,dan berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Dengan demikian, sistem ekonomi misalnya mempunyai wujud sebagai konsep,rencana,kebijaksanaan,adat istiadat yang berhubungan dengan ekonomi,tetapi  mempunyai juga wujudnya yang berupa tindakan dan interaksi berpola antara produsen,tengkulak,pedagang,ahli transportasi,pengecer dan konsumen,dan selain itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsunya yang berupa peralatan,komoditi,dan benda ekonomi. Demikian juga sistem religi misalnya mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan,dan gagasan tentang tuhan,dewa,roh halus,neraka,surga dan sebagainya,tetapi mempunyai juga wujud berupa upacara,baik yang bersifat muslim,maupun yang kadangkala, dan selain itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius. Contoh lain adalah unsur universal kesenian yang dapat berwujud gagasan,ciptaan pikiran,ceritera dan gagasan yang indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi berpola antara seniman pencipta,seniman penyelenggara,sponsor penyelenggara,pendengar,penonton,dan konsumen hasil kesenian;tetapi selain itu kesenian juga berupa benda-benda indah,candi,kain tenun yang indah,benda kerajinan,dan sebagainya.
Kerangka mengenai ketujuh unsur kebudayaan universal itu biasanya juga dipakai oleh para penulis etnografi sebagai contoh untuk menyusun daftar isi buku etnografi. Dengan membawa kerangka itu ke lapangan untuk mengumpulkan data etnografi, seorang sarjana antropologi sudah mengetahui sebelumnya unsur-unsu yang akan ditelitinya, sedangkan buklu laporan etnografinya telah terdahulu dapat dibagi kedalam tujuh bab, sesuai dengan kerangka cultural universals tadi.



2.5  Integrasi Kebudayaan
2.5.1 Metode Holistik
Seorang sarjana antropologi tidak hanya bertugas menganalisis kebudayaan dengan mengetahui berbagai cara  untuk memerincinya kedalam unsur yang kecil,dan mempelajari unsur-unsur kecil itu secara detail, tetapi ia juga bertugas untuk dapat memahami kaitan antara tiap unsur kecil itu, dan ia juga harus mampu melihat kaitan atas setiap unsur keil itu dengan keseluruhannya. Dengan perkataan lain, ia harus paham akan masalah integrasi dan unsur-unsur kebudayaan.
Para ahli antropologi biasanya memakai istilah “holostik” (holistic) untuk menggambarkan metode tinjauan yang mendekati suatu kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi.
Ilmu antropologi memang telah mengembangkan beberapa konsep yang dapat dipakai untuk memehami berbagai macam kaitan antara berbagai unsur kecil dalam suatu kebudayaan itu. Para ahli antropologi tentu sudah sejak lama mengetahui akan adanya integrasi atau jaringan terkait unsur-unsur kebudayaan itu. Namun kesadaran akan perlunya masalah integrasi kebudayaan itu dipelajari secara mendalam, baru setelah tahun 1920 timbul, dean baru sesudah waktu itu masalah integrasi menjadi bahan diskusi dalam teori. Dalam pada itu timbul beberapa konsep untuk menganalisiss masalah integrasi kebudayaan, yaitu pikiran kolektif, fungsi unsur-unsur kebudayaan, fokus kebudayaan, etos kebudayaan, dan kepribadian umum
2.5.2  Pikiran Kolektif
Sudah sejak akhir abad ke-19 ada seorang ahli sosiologi dan antropologi Prancis, bernama, E. Durkheim, yang mengembangkan konsep represtation collectives (pikiran-pikiran kolektif) dalam sebuah karangan berjudul Representation Individuelles et Representation Colectives (1898). Cara Durkheim menguraikan konsep berpikir. Ia juga beranggapan bahwa aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah, seperti: penangkapan pengalaman, rasa, sensasi, kemauan, keinginan, dan lain-laain itu, terjadi dalam organ fisik dari manusia dan khususnya berpangkal di otak dan sistem syarafnya. Akal manusia mempunyai kemampuan untuk menghubung-hubungkan proses-proses rohaniah yang primer tadi melalui proses sekunder, menjadi bayangan-bayangan; dan sejumlah dari semua bayangan tentang suatu hal yang khas, menjadi gagasan. Suatu gagasan serupa itu oleh Durkheim disebut representation oleh karena gagasan berada dalam alam pikiran seorang individu maka disebutnya representatation individuelle.
Gagasan seperti itu bisa juga dimiliki oleh lebih dari satu individu, bahkan juga oleh sebagian besar dari warga suatu masyarakat, dalam hal itu sering kita berbicara gagasan umum atau gagsan masyarakat, sedangkan Durkhei bicara tentang gagasan kolektif atau representation collective. Kecuali itu Durkheim itu berpendapat bahwa suatu gagasan yang sudah dimiliki oleh sebagian besar warga masyarakat bukan lagi berupa suatu gagasan tunggal menbenai suatu hal yang khas, melainkan sudah berkaitan dengan gagasan lain yang sejenis menjadi suatu kompleks gagasan-gagasan, sehingga ia selalu mempergunagan istilah representation colectives dalam bentuk jamak. Untuk membedakan antara gagasan tunggal dengan kompleks berbagai gagasab yang telah dimiliki oleh sebagian besar dari warga masyarakat.
Durkheim juga mengajukan suatu ciri yang sangat penting, yaitu apabila suatu kompleks pikiran kolektif sudah terbentuk dan menjadi mantap, maka seluruh kompleks itu berada di luar si individu. Hal itu disebabkan karena keseluruhan pikiran kolektif dan gagasan-gagasan yang merupakan unsur-unsurnya itu akan tersimpan dalam bahasa sehingga walaupun individu-individu yang mengembangkannya itu sudah meninggal, keseluruhan itu tetap dimiliki oleh generasi berikutnya. Selain di luar individu, menurut Durkheim representation colectives itu juga berada di atas para warga masyarakat, dalam arti bahwa representation itu menjadi pedoman bagi tingkah laku atau tindakan bagi para warga masyarakat tadi.
Istillah–istilah lain yang sering digunakan untuk menyambut  konsep “pikiran umum” atau “ pikiran kolektif ” tadi,adalah conviguration atau “konfigurasi”. Istilah itu mulah-mulah dipakai seorang ahli linguistik dan antropilogi,E. Sapir dalam bukunya The Unconscious patterning of bheavoir in society (1927) dalam arti yang kurang lebih sama dengan representations collectives dari durkheim. Namun, istilah conviguration ini walaupun banyak dipakai kurang dikembangkan lebih lanjut dalam ilmu antropologi.
2.5.3  Fungsi Unsur-unsur Kebudayaan
Aliran pemikiran mengnai masalah fungsi dari unsur-unsur kebudayaan terhadap kehidupan suatu masyarakat, yang mulai timbul setelah tulisan Malinowski mengenai penduduk kepulauan Trobrianad itu menarik pewrhatian umum, dan disebut aliran fungsionalisme. Dalam aliran itu ada berbagai pendapat dari bebagai sarjana antropologo mengenai fungsi dasar dari unsur-unsur kebudayaan. Adapun fungsi kebudayaan adalah Memuaskan suatu rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup dan makhluk manusia dan kombinasi dan lebih dari satu hasrat.
2.5.4  Fokus Kebudayaan
Banyak kebudayaan mempunyai suatu unsur kebudayaan atau beberapa pranata tertentu yang merupakan syatu unsur pusat dalam kebudayaan, sehingga digemari oleh sebagian besar dari warga masyarakat. Dengan demikian mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan masyarakat. Contoh dari unsur-unsur kebudayaan yang dominan seperti itu misalnya kesenian masyarakat orang Bali, grakan kebatinan dan mistik dalam kebudayaan golongan pegawai negeri, atau priyayi, di Jawa Tengah, peperangan antara federasi-federasi kelompok kekerabatan dalam masyarakat suku bangsa Dani di Lembah Besar Baliem di Pegunungan Jayawijaya di Irian Jaya, atau kula dalam masyarakat penduduk Trobriand.
Suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak sangat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan bermasyarakat bersangkutan, oleh ahli antropologi Amerika R. Linton, disebut cultural interest, atau kadang-kadang juga social intersest.





BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
1.      Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tundakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
2.      tiga gejala kebudayaan yaitu:
a.       Ideas
b.      Activities
c.       Artivacts
3.      Tiga wujud kebudayaan:
a.       Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya.
b.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c.       Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
4.      Menurut C. Kluckhohn, kelima masalah daasar dalam kehiodupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah:
a.       Masalah hakikat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH).
b.      Masalah hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK).
c.       Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disingkat MW).
d.      Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya selanjutnya disingkat MA).
e.       Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat MM).



3.2  Saran
Kami sebagai penulis berharap kepada pembaca atau mahasiswa agar kiranya dapat menjaga makalah ini dan terus mengembangkan pengetahuan tentang kepribadian budaya, khususnya dalam mata kuliah antropologi jangan hanya berhenti sampai disini, tetapi tetaplah mencari referensi lain yang berkaitan dengan kajian ilmu ini guna untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar